Suarastra.com – Setelah sempat mengalami kekosongan, kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) akhirnya kembali terisi. Ahmad Yani resmi dilantik sebagai Ketua DPRD Kukar untuk masa jabatan 2024–2029 dalam Rapat Paripurna ke-11 yang digelar di Gedung DPRD Kukar, pada Kamis (19/06/2025).
Pelantikan ini menjadi momen penting bagi DPRD Kukar setelah wafatnya Ketua sebelumnya, almarhum Junaidi dari PDIP. Selama masa transisi, jabatan tersebut sempat diisi sementara oleh Wakil Ketua II DPRD Kukar sebagai pelaksana tugas (Plt).
Dalam rapat paripurna yang berlangsung khidmat itu, turut hadir Bupati Kukar Edi Damansyah, serta Bupati terpilih Aulia Rahman Basri. Hadir pula sejumlah tokoh penting dari DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) seperti Ananda Emira Moeis dan Muhammad Husni Fahruddin.
Dalam pidato perdananya, Ahmad Yani menegaskan bahwa jabatan yang kini diembannya bukan sekadar posisi struktural, tetapi merupakan amanah besar yang penuh tanggung jawab.
“Saat kita sudah disumpah, itu bukan hal biasa, tapi itu hal yang sangat sakral,” tegas Ahmad Yani.
Ia mengingatkan, pentingnya kolaborasi antara legislatif dan eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan agar tidak terjadi konflik yang menghambat pelayanan publik.
“Bekerjalah sesuai peraturan perundang-undangan, dan sesuai dengan semangat sumpah jabatan,” tambahnya.
Tak hanya itu, Ahmad Yani juga menekankan, bahwa fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan harus dijalankan secara maksimal dan beriringan dengan visi pemerintah kabupaten. Ia juga membuka ruang agar inisiatif dan ide kebijakan tidak selalu datang dari pihak eksekutif, tetapi juga bisa berasal dari DPRD.
Salah satu sorotan utamanya adalah implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang sudah disahkan sebagai panduan utama pembangunan Kukar lima tahun ke depan.
“RPJMD harus dijalankan, diawasi, dan dikoreksi dengan baik. Tujuannya adalah mewujudkan Kukar Idaman menjadi Kukar Idaman Terbaik, bukan hanya slogan, tapi benar-benar dirasakan hingga ke masyarakat paling bawah,” ungkapnya.
Selain itu, dirinya juga menyinggung secara kritis persoalan SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) yang masih kerap terjadi dalam pengelolaan keuangan daerah.
“Kalau ada SILPA besar, berarti ada yang harus dibenahi. Itu menunjukkan anggaran tidak terserap, dan itu tidak boleh terjadi,” ujarnya.
Ia menilai SILPA sebagai bentuk nyata dari peluang kesejahteraan rakyat yang terbuang. Oleh sebab itu, ia menuntut kinerja anggaran yang lebih efektif dan akuntabel dari seluruh pemangku kepentingan.
“SILPA berarti kesempatan rakyat untuk sejahtera berkurang. Ini tanggung jawab kita bersama. Tahun depan, SILPA harus diminimalkan bahkan dihilangkan. DPR wajib mengawasi ini secara maksimal,” tutupnya.
(Oby)