Suarastra.com – Pada malam yang gemerlap di Desa Wisata Kuliner Loa Lepu, Tenggarong Seberang, langkah waktu seakan berhenti sejenak ketika suara H. Sukardi Wahyudi mengalun dari panggung Festival Kuliner Nusantara. Suara itu bukan sekadar bacaan, melainkan titipan jiwa yang jatuh satu demi satu ke relung rasa, menjelma alun laksana gelombang Mahakam yang mengelus tepiannya.
Di tengah semarak kuliner dari asap panggangan yang menari ke langit hingga aroma rempah yang menebar rindu, hadir puisi yang menyulam keheningan. Sukardi, penyair yang sudah lama menautkan hatinya pada tanah Kutai, membacakan karyanya yang bertajuk “Teluk Bentangis”, sebuah syair yang sebelumnya terhimpun dalam buku Jejak Prigi di Tanah Melayu, antologi puisi lintas negeri : Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia, dalam Dialog Serantau Borneo Kalimantan ke-XVI di Samarinda, 17-20 Juni 2025.
Dengan lantang bergetar, beliau melantunkan bait demi bait :
TELUK BENTANGIS
Karya : Sukardi Wahyudi
Titipkan ingin ini pada air sungaimu
setiap yang lewat di alur bibir tepian
Kumpai dan potongan batang hanyut
gubang juga kapal dagang
agar serat rindu tak berkarat
dihamparan waktu saat senja gelisah.
Duduk membatu serupa Batu Yufa
Dandeng pilu mengiris beku diam
menyampaikan resah malam
berpedoman isyarat kedip bintang
tak pernah redup menunggu berita datang yang dinantikan.
Teluk Bentangis berlumutkan air mata
membasuh bercak luka disetiap muara
agar goresan cerita anak Mahakam terbaca
dalam lembar legenda perjalanan.
Tangisan tanda setia terus terdengar
tak ada yang berubah
seusia cinta melewati semua zaman
hingga yang ditunggu benar benar pulang.
Kukar, 25-02-2025
Kala bait terakhir menutup, hening pun menyelubungi khalayak. Riuh festival yang tadinya penuh senda gurau seakan surut ditelan arus kata. Para hadirin terdiam, seolah dibawa berlayar ke sebuah teluk gaib yang menyimpan tangis, rindu, dan kesetiaan yang tak pernah lekang ditelan musim.
Sukardi kemudian berkata pelan
“Puisi ini bercerita tentang kesetiaan terhadap janji (kata) dan ucapan, entah itu janji terhadap alam, lingkungan, laku, ucapan baik kepada sesama manusia terlebih kepada Tuhan,” ucapnya pada Selasa (17/8/2025).
Kala malam itu, Festival Kuliner Nusantara bukan hanya pesta rasa di lidah, melainkan juga perjamuan jiwa. Antara wangi masakan dan gemerlap lampu, kata-kata menjelma suluh, meneguhkan bahwa di bumi Melayu Kutai, sastra dan budaya tetap bernafas, serupa sepasang sayap yang mengangkat peradaban.
(Caa)

