Suarastra.com – Dari tanah Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, lahirlah seorang penyair yang hidup di antara puisi dan diam air putih: Indon Wahyudin. Ia menyebut dirinya pemakan puisi dan cerita pendek, sementara kesehariannya dirajut dengan kata, doa, dan seteguk kesederhanaan.
Dalam hidupnya, kata bukan sekadar bunyi ia adalah cara untuk berzikir kepada semesta.
Karya yang Menembus Negeri dan Zaman
Beberapa antologi puisinya telah berkelana ke berbagai penjuru nusantara dan negeri seberang. Di antaranya Warna-Warni Indah (Rasibook, Bandung), A Skyful of Rain (Banjarbaru’s Rainy Day International Literary Festival 2018), Menghitung Kelahiran Bintang (Forum Lingkar Pena Makassar), Terbanglah dengan Deen Assalam (antologi sebuku bersama Nissa Sabyan), dan Menenun Rinai Hujan (antologi puisi sebuku bersama Sapardi Djoko Damono).
Puisinya juga turut menghiasi, When The Days Were Raining (Banjarbaru’s Rainy Day Internasional Literary Festival 2019), Banjarbaru Rain (Banjarbaru’s Rainy Day Internasional Literary Festival 2020), Aksara Pesisir (Antologi puisi bersama penulis Muara Badak), Tadarus Puisi Ramadhan (Antologi Lumbung Puisi), Cermin Lamin di Balik Pintu Lamin (Antologi Puisi Wajah Terkini Puisi Kalimantan Timur), Mengenang Sang Penjaga Sastra HB Jassin (2021–2022 Angkatan Milenial), Cermin Lamin di Balik Pintu Lamin, serta Sebuah Kota Menyambutku Dengan Secangkir Robusta (Indonesia Coffee Submit 2023).
Namanya juga tercatat dalam Kompilasi Sejuta Kata (Antologi puisi bersama Gol A Gong, Duta Baca Indonesia, 2023), Si Binatang Jalang (Antologi Puisi Hari Puisi Nasional 2025), Jejak Perigi di Tanah Melayu (Antologi Puisi Tiga Negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, 2025), serta Suar di Hulu Kata Mengalir Makna (Dialog Lima Sungai, Festival Sastra Palangka Raya #1, 2025).
Tahun 2025 menjadi tonggak baru bagi penyair yang dikenal religius ini, karyanya menembus batas lintas budaya dan bahasa, membawa pesan kemanusiaan yang universal.
Beberapa puisinya juga dapat dijumpai di berbagai media nasional seperti Samarinda Pos, Harian Cakrawala, Ambau.com, dan Asyik-asyik.com, tempat kata-kata dari tanah Mahakam menemukan pembacanya.
Menjelajah Panggung dan Jejak Kata
Indon bukan sekadar penulis di atas kertas ia adalah penjelajah panggung sastra yang langkahnya sering menapak dari kota ke kota, dari teater ke teater, membawa harum kata dari tanah Kutai.
Ia pernah diundang ke Banjarbaru’s Rainy Day International Literary Festival (2018-2019), Dialog Serantau Borneo-Kalimantan XVI (2025), Makassar International Writer Festival, Festival Sastra Basabasi, Sastra Tugu Jogja, Studio Pertunjukan Sastra di Taman Budaya Yogyakarta, dan FKKH UGM.
Setiap penampilannya seperti doa yang dibacakan dengan suara rendah tak menggema keras, tapi meresap dalam hati mereka yang mendengarnya.
Rumah Kata
Kiprah Indon di dunia literasi juga mengalir melalui berbagai komunitas sastra yang ia jadikan rumah berpikir. Dari Forum Lingkar Pena Sulsel (Makassar), ia kemudian berlabuh di Sindikat Lebah Berpikir Universitas Mulawarman, Ruang Sastra Kaltim, Forum Lingkar Pena Kutai Kartanegara, serta JPK (Jaring Penulis Kaltim) bersama Amien Wangsitalaja dan rekan-rekan sejiwa lainnya.
Bagi Indon, komunitas adalah taman tempat kata tumbuh, dan sastra adalah air yang menyiraminya dengan cinta dan tanggung jawab.

Kedai Kopi dan Penghargaannya
Tahun 2021 menjadi catatan istimewa bagi perjalanan kepenyairannya. Buku puisinya, “Kedai Kopi Badak,” dinobatkan sebagai Juara Pertama Buku Puisi Unggulan oleh Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, Kemendikbudristek RI. Sebuah pengakuan atas kesetiaan seorang anak daerah yang menulis dari tanah sendiri menulis bukan untuk kemasyhuran, melainkan untuk keberkahan kata.
Di dunia maya, Indon masih dapat dijumpai melalui akun Instagram @indonwahyudin, tempat ia terus menenun puisi, membagikan refleksi kehidupan, dan menyapa pembacanya dengan kelembutan khas seorang penyair yang berzikir melalui aksara.
Sebuah Doa dari Mahakam untuk Dunia
Salah satu puisinya mengguncang hati dan menggema hingga jauh yang berjudul :
DARAH ANAK GAZA
melihat kepalanya keluar darahnya
melihat giginya berubah warnanya
melihat matanya tanggal satu
melihat kakinya puntung sebelah
kemeja dan celananya penuh
dengan bercak-bercak darah
anakku abdullah
anakku maryam
lelaki siapa sesedih papa?
lelaki siapa setegar papa?
lelaki siapa segeram papa?
lelaki siapa sesabar papa?
Muara Badak, 09 Juni 2024
Jeritan Nurani dan Doa yang Mengalir
Puisi ini bukan sekadar untaian kata ia adalah jeritan nurani seorang ayah, sekaligus doa paling lirih yang dikirimkan dari tepi Mahakam untuk anak-anak Gaza. Dalam setiap lariknya, Indon membiarkan darah menjadi aksara, dan duka menjadi kesaksian kemanusiaan. Puisi itu menelanjangi kesunyian dunia, menyadarkan manusia akan luka yang sama: luka kemanusiaan yang menuntut doa dan empati.
Menulis sebagai Zikir
Kepada Suarastra.com, Indon berujar lembut dengan suara yang terdengar seperti angin sore di pinggir Mahakam
“Tetap istikomah menebarkan kebaikan, mencari ridho Allah, mencari ridho Nabi,” tuturnya, Selasa (4/11/2025).
Kalimat sederhana itu menjadi fondasi spiritual dari seluruh karya puisinya. Sebab bagi Indon Wahyudin, menulis bukan hanya menumpahkan kata, tetapi menanam doa di atas luka dunia.
Dari setiap doa yang ditanamnya, lahirlah cahaya kecil yang menuntun pembaca untuk terus percaya bahwa puisi adalah jembatan antara luka dan harapan, antara bumi yang lelah dan langit yang masih mau mendengar.
Penyair dan Cahayanya
Setiap penyair lahir bukan semata untuk dikenang, tetapi untuk mengingatkan manusia akan cahaya yang hampir padam. Indon Wahyudin adalah satu di antara sedikit penyair yang menulis bukan dari tinta, melainkan dari luka dan doa. Ia menyalakan lentera kecil di tepi Mahakam, agar dunia tak sepenuhnya tenggelam dalam gelap dan agar kata tetap punya rumah di hati manusia.
(Caa)

