Suarastra.com – Di zaman yang penuh gemerlap layar dan keluhan yang mendesis di sela waktu, hadir seorang penyair Khalish Abniswarin, yang tak sekadar menggubah kata, melainkan membenturkan huruf demi huruf ke dinding tabu. Ia bukan sekadar menulis, ia menelisik menyerempet batas, menertawai takut, lalu menelanjangi makna yang diam-diam disembunyikan dalam kitab dan tubuh.
Puisinya seperti desir angin yang membawa harum musala dan aroma tubuh manusia yang belum sempurna taubatnya. Dengan gaya yang nyaris sarkastik namun penuh kasih, Khalish melukis ritual suci dengan nuansa sensual, mencampur aduk pelajaran tajwid dengan bayangan gorden yang menari, menyatukan kecanggungan belajar dengan kegugupan syahwat yang diam-diam mengintai.
Ia tak takut bermain-main di pinggir jurang, sebab baginya, iman pun lahir dari guncangan, bukan dari kepatuhan buta.
Belajar Mengaji Bersama Miyabi
Mim bawah mi ya di atas ya ba bawah bi
Basuhlah kedua pipimu yang cabi
Dengan air yang suci lagi menyucikan
Percikkan pada dua matamu
yang bulat itu
Biarkan saja merem melek
Mengedip mengintip huruf alif, meraba raba huruf ba, lalu diam terpejam dalam igauan dengung idgam.
Telinga kita telinga sufi. meresapi desahan yang diwahyukan
Lalu pastikan kedua tanganmu
Sampai ke siku hanya menyentuh
debu yang menempel di sofa atau selimut tipis setipis sutra
Gaun tidur yang menggoda untuk mendapatkan mulus pahala
Bertayamumlah tanpa diburu-buru nafsu
hindari bisikan sabun wangi yang terkutuk
“sesungguhnya ia sangat menggelincirkan”
Biarkan saja gorden dan kipas angin bergelinjang-gelinjang
Lalu duduklah dengan jiwa yang tenang
Bernapaslah dengan tuma’ninah
Diawali dengan doa perlindungan
dari was-was syahwat dan gangguan setan
Dengan pertolongan yang amat penyayang
matikan televisi mulailah untuk mengaji diakhiri dengan doa yang dicintai bidadari
“Nikmat bermesraan dengan Tuhan harus lebih hebat dari rasa nikmat dalam melakukan maksiat,” begitu lantang Khalis lantunkan, sama seperti bait-bait puisinya.
Dari puisi ini kita diajak membaca bukan hanya dengan mata, tapi dengan dada yang berkecamuk, antara harap dan haram. Ia menegaskan bahwa membaca alif ba ta bisa menjadi laku spiritual sekaligus erotik sebuah keberanian yang hanya dimiliki mereka yang sudah meneguk tinta langit dan lumpur dunia dalam satu cawan.
Khalish bukan sekadar penyair. Dari syairnya Ia adalah penilik gerak naluriah, yang mampu membuat gaun tidur berbicara tentang tayamum, dan kipas angin berkisah tentang gangguan setan. Ia menciptakan dunia di mana kesucian dan nafsu duduk berdampingan di ruang tamu, memandangi satu sama lain sambil mengaji dengan suara pelan.
Ia hadir di tengah kita hari ini seperti bayang yang jenaka namun tajam, membongkar kemunafikan dengan lembut, membiarkan tawa hadir dalam ruang tafsir.
Khalish tak sedang melecehkan agama, ia sedang mengajak kita menyentuh agama dengan kulit yang jujur dan hati yang peka.
Dan mungkin, saat televisi kita dimatikan, dan doa mulai dilantunkan, kita bisa melihat bahwa bidadari pun bisa tersenyum oleh puisi yang tak biasa. Begitulah Khalish berbisik mesra di telinga kita yang ingin suci, namun kita tetap lah manusia.
(Caa)