Suarastra.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, optimistis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak akan terus melemah. Ia menegaskan, secara fundamental, ekonomi Indonesia masih berada dalam kondisi yang kuat.
Salah satu faktor pendukungnya adalah kebijakan penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sebesar 100 persen di dalam negeri selama satu tahun, yang akan mulai berlaku pada 1 Maret 2025. Kebijakan ini menggantikan aturan sebelumnya yang hanya mewajibkan 30 persen DHE dari sektor sumber daya alam (SDA) untuk disimpan dalam rekening khusus (reksus) valuta asing selama minimal tiga bulan.
“Kita sudah menerapkan kebijakan devisa hasil ekspor, jadi kita tidak akan terpojok ke depan. Dengan demikian, fundamental dari devisa hasil ekspor juga akan memperkuat posisi rupiah,” ujar Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (26/3/2025).
Ia menambahkan, beberapa faktor lain yang dapat mendorong penguatan rupiah dalam jangka menengah dan panjang adalah meningkatnya nilai ekspor, kuatnya cadangan devisa, serta surplus neraca perdagangan. Airlangga juga menilai bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah adalah hal yang wajar terjadi dalam perekonomian.
“Rupiah memang berfluktuasi, itu hal biasa. Namun, secara fundamental, kondisi kita masih kuat. Dalam jangka menengah dan panjang, ekspor kita bagus, cadangan devisa kuat, dan neraca perdagangan juga dalam kondisi baik,” jelasnya.
Lebih lanjut, pemerintah akan mengantisipasi pelemahan nilai tukar dengan mendorong peningkatan ekspor dan melakukan deregulasi kebijakan yang dinilai masih berbelit.
“Ekspor harus terus berjalan. Selain itu, deregulasi yang menjadi arahan Presiden harus dilakukan agar perizinan semakin mudah, sehingga arus impor dan ekspor lebih lancar,” tambahnya.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh level terendah sejak Juni 1998. Pada Selasa (25/3/2025), rupiah turun 0,5 persen ke level 16.640 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup di level 16.590 per dolar AS, mendekati posisi terendah dalam sebulan terakhir. Pelemahan ini dipicu oleh berbagai faktor global dan domestik, termasuk tingginya permintaan pasar dalam negeri untuk repatriasi dana serta kebutuhan pembayaran lainnya.
Di tingkat domestik, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti rencana belanja populis pemerintah, usulan pengawasan BUMN oleh lembaga sovereign wealth fund baru (BPI Danantara), serta ekspansi peran militer dalam masyarakat sipil sebagaimana tertuang dalam revisi UU TNI. Ketiga faktor ini menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas fiskal Indonesia dalam jangka panjang.
Kecemasan pasar meningkat pekan lalu setelah beredar rumor mengenai pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang selama ini dikenal sebagai penjaga disiplin fiskal pemerintah. Namun, Sri Mulyani kemudian membantah kabar tersebut.
“Kinerja buruk rupiah sebagian besar disebabkan oleh faktor fundamental yang melemah, termasuk kekhawatiran fiskal, defisit transaksi berjalan yang tak terduga, perlambatan ekonomi, serta ekspektasi bahwa Bank Indonesia mungkin harus segera melonggarkan kebijakan moneternya,” ujar Christopher Wong, analis mata uang dari OCBC, dikutip dari Kontan.
(Caa)