Suarastra.com – Festival Literasi menjadi saksi alunan mahakarya Syafruddin Pernyata yang berjudul “Samarinda Tempo Dulu”.Helatan ini menjadi salah satu dari sekian rangkaian yang dipersembahi oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).
Talkshow Bedah Buku nama agendanya. Dimoderatori oleh Marga Rahayu dari RRI dan menghadirkan Hamdani sebagai pembedah buku, yang memberi pandangan tajam serta memperkaya perbincangan dengan sang penulis. Suasana forum berlangsung semarak, sederhana, namun sarat makna.
Syafruddin menyampaikan bahwa tak ayal jika manusia melupakan akar sejarahnya, tak patut jika tak melirik apa yang telah lalu dahulu waktu.
“Sesungguhnya kita tidak boleh melupakan sejarah. Sehebat apapun manusia, apa yang ia lakukan hari ini, ia berpijak dari masa lalu, dan sejarah masa depan akan diukir oleh perbuatan kita pada hari ini,” ungkapnya menyihir, menyapu seluruh Aula DPK Kaltim, Selasa (16/9/2025).
Ia juga menyinggung novelnya “Lelaki di Kampong Air”, sebuah karya yang merekam denyut kehidupan di bantaran Mahakam, diliputi kisah cinta sederhana tetapi abadi. Uraiannya membuat hadirin seakan menapaki lorong waktu, kembali ke masa kala rumah panggung berdiri di atas air, dan perahu menjadi urat nadi kehidupan sehari-hari.
Hamdani, selaku pembedah buku, menegaskan betapa eratnya kaitan antara karya seni dan batin penciptanya.
“Tulisan yang tidak lahir dari roh dan kedalaman jiwa akan terasa hampa, tiada mampu menghidupkan makna,” ujarnya dengan senyum seluas ruas jari.
Pesan itu menjadi pengingat penting bagi para insan literasi yang hadir, bahwa kejujuran hati adalah nyawa dari setiap karya.
Menutup perbincangan, Syafruddin kembali berpesan, bahwa orang yang sukses adalah mereka yang siap atas segala hal yang kelak dihadapi.
“Orang yang sukses ialah mereka yang bersiap. Dahulu Samarinda hanyalah kampung kecil. Jalan Basuki Rahmat kala itu disebut jalan baru, Kusuma Bangsa belum ada. Kini Samarinda telah menjelma kota metropolitan. Inilah contoh nyata bagaimana perubahan terjadi,” tuturnya lembut, namun meyakinkan.
Dipenghujung waktu, bedah buku ini pada akhirnya bukan sekadar forum diskusi, melainkan pula jembatan penghubung antara kenangan masa slalu dan harapan generasi di masa kini, agar sejarah senantiasa hidup sebagai cahaya penuntun bagi masa depan.
(Caa)

