Suarastra.com – Lantunan doa mengalun dari dadanya, bukan sekadar permohonan, tetapi wasiat yang dibisikkan kepada masa depan dan masa kini. la menyulam kata-kata dengan hati yang lapang, menjadikan puisi sebagai jembatan antara dunia yang kasat dan yang tak kasat mata, antara tanah yang diinjak dan langit yang dipercayai.
Sastrawan itu tahu, dalam setiap kata sastra yang dihidupkannya, mengalir darah warisan, yang menuntun jiwa untuk kembali pada akar, bukan sekadar mengenang, tetapi juga menghidupi. Karena baginya, sastra bukan benda mati. la adalah nadi yang berdenyut dalam bisik kehidupan, dalam napas anak negeri yang masih mau mendengar.
Syair doa yang indah , semua terpana kala satu persatu kata keluar dan hadir untuk membersamai peserta Dialog Serantau Borneo.
ya, Allah.
kami para penyair adalah kelompok yang rentan untuk diikuti oleh orang-orang yang sesat.
ampunilah kami dan tetapkan hidayah untuk kami.
hindarkan kami dari berkeliaran di lembah-lembah kemaksiatan, berpanjang angan dengan fantasi liar berselubung kebebasan berekspresi.
selamatkan kami dari bah kesesatan dengan sampan iman.
ya Allah.
masukkan kami ke dalam komunitas orang baik (kuntum khaira ummah) yang berada di tengah realitas sosial (ukhrijat linnas);
yang mampu membawa semangat humanisasi (ta-muruna bi l ma’ruf) dan liberasi (tanhauna ‘an l munkar) dengan selalu berpunca pada spirit transensensi (tu-minuna bi Allah).
jadikan itu semua sebagai modal kami para sastrawan menghasilkan karya.
sastra yang kuat dan baik akan memperkaya jiwa.
jiwa yang dikuatkan oleh sastra yang baik akan memperkasa bangsa.
“Jangan karena sedikit mengenal sastra, sedikit mengenal seni, lalu merasa sombong dan meremehkan ajaran agama,” tandasnya, menggema, lantang dan kencang.
Begitulah syair permohonan yang memanjakan telinga, pada semua yang mendengar dan merasakan melalui rasa.
(Caa)