Suarastra.com – Seorang budayawan muda bersemayam di balik jendela, membiarkan cahaya senja menitik perlahan di lantai kayu. Di hadapannya terbuka lembaran kata, bukan sekadar tulisan, melainkan jejak waktu yang mengalir dari luka dan ingatan.
Bukan jari yang patah yang ia genggam, melainkan kenangan yang pernah retak kini hidup kembali dalam baris-baris puisi.
Ketika ditemui Suarastra.com, pada Jumat (5/9/2025) Dahri Dahlan tampak bersahaja sambil menyesap minuman hangat. Pandangannya terarah pada bait yang pernah ia tuangkan, membiarkan kesenyapan berbicara, sembari mengenang masa ketika lahir puisi,
Jari Tangan
Karya : Dahri Dahlan
Di ibukota negara
polisi mematahkan jari
tangan seorang demonstran.
Di sebuah sekolah negeri
belasan tahun lalu, jari
tangan itu dengan tekun
diajari menulis
ini budi
i-ni bu-di
ini budi
2025
Puisi itu bergaung bukan sekadar rangkaian kata, melainkan lambang kesabaran, luka, dan harapan di tengah gejolak bangsa.
Dahri Dahlan berujar,
“Puisi ini saya tulis sebulanan lalu, dan ternyata kondisi bangsa kita belakangan sangat bersesuaian dengan temanya,” sebutnya.
Karya itu hadir begitu relevan dengan kenyataan negeri, di mana realitas kerap melampaui kata-kata yang tertulis.
Lebih jauh, ia menambahkan
“Sesungguhnya, yang terjadi melampaui apa yang saya tulis. Saya menulis tentang jari yang dipatahkan, sedangkan baru-baru ini nyawa telah hilang. Namun sekali lagi, puisi itu adalah simbol. Ia bukan hanya mewakili kenyataan, tetapi juga menyimpan estetika tertentu,” tandasnya.
Dahri Dahlan, dosen dan peneliti asal Samarinda, Kalimantan Timur, kini mengabdi di Universitas Mulawarman. Ia dikenal sebagai kurator sastra dan peneliti budaya.
Buku puisinya yang terbaru, Kau Sedingin Pelabuhan (Basabasi, 2023), telah menghiasi berbagai media nasional, termasuk Jawa Pos dan Kompas.id. Saat ini, ia tengah menempuh studi doktoral di Universitas Gadjah Mada dengan beasiswa penuh dari Kemendiktisaintek RI.
Dari tanah Mandar yang membesarkannya hingga kota Samarinda tempat ia kini mengabdi, jejak Dahri Dahlan adalah perjalanan kata yang tak pernah henti. Puisinya tidak berhenti pada keindahan bunyi, melainkan menjadi cermin yang menampakkan luka bangsa sekaligus lentera yang menyalakan harapan. Ia menulis bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk mengingatkan, bahwa di balik setiap patahan, masih ada kehidupan yang layak diperjuangkan.
(Caa/Mii)

