Suarastra.com – Sosok Saprudin Ithur dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam pelestarian budaya di Berau, Kalimantan Timur. Sejak awal 1980-an, ia tekun mencatat dan menuliskan kembali cerita-cerita rakyat yang sebelumnya hanya diwariskan secara lisan, agar tidak hilang ditelan zaman.
Kariernya berawal sebagai guru pada 1981, lalu kepala sekolah di Tanjung Perepat, hingga menempuh jalur birokrasi kebudayaan. Puncaknya, ia pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Kebudayaan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Berau pada awal 2010-an. Ia kemudian memasuki masa pensiun pada awal tahun 2018.
Hingga kini, Saprudin telah menerbitkan sejumlah karya, di antaranya:
1. Bangbal Menjadi Raja (2013)
2. Meriam Pijitan (2015)
4. Meriam Sumbing (2015)
5. Legenda Danau Tebo (2015)
6. Si Ayus Putra Rimba Raksasa (2017)
7. Batu Ajaib Si Kuntum Taklamun (2018)
8. Raja Alam Sultan Alimuddin Perang Melawan Belanda (2022)
9. Kamus Bahasa Berau Banua’ Kaltim (2022)
10. Syair Badiwa (2023)
Pada 2024, ia juga menghadirkan Misteri Gua Beloyot dalam tiga bahasa serta Kisah Cinta Pangeran Berunai dan Putri Kannik Saludai untuk memperkaya literatur lokal dan memperkenalkan budaya daerah kepada generasi muda.
Selain itu, pada tahun yang sama, Saprudin menerbitkan dua karya penting:
1. Buku Cerita Tentang Sungai, kumpulan puisi yang dicetak oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Berau (2024).
2. Buku Pembantaian Tentara Jepang, yang dicetak oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalimantan Timur (2024).
Selain legenda rakyat, Saprudin dikenal lewat puisi-puisi indahnya, 2 dari banyak puisi yang ia miliki yaitu berjudul “Elang & Enggang ”.
Elang
Elang itu terbang tinggi Sayapnya
terbuka lebar Gagah nian menantang awan
Berputar mengelilingi pusara
Jambul dipermainkan angin
Matanya tajam mengawasi
Ekornya bergerak menyapa
Lihat ketajaman rasa
Menukik kencang menerkam mangsa
Biarlah elang gagah itu
Terus terbang bebas
Biarkan pula di bawah sana
Mangsanya berkeliaran bebas
Agar elang tetap gagah
Menukik menerkam mangsanya.
Tanjung Redeb, 13 Juni 2025
Dari Elang yang menghadirkan gagahnya kekuatan dan kebebasan, Saprudin juga menulis tentang burung Enggang. Jika elang adalah simbol keberanian, maka enggang melambangkan kesetiaan, kelembutan, dan cinta yang abadi, ikon yang begitu lekat dengan budaya Kalimantan.
Enggang
Burung enggang masih bebas
Terbang dengan pongahnya
Mengepakkan sayap lebar-lebar
Bersenda gurau dengan alam
Hutan masih lebat
Bunga-bunga warna warni
Aromanya sampai ke benua lain
Sang betina tetap setiamenemani sang jantan
Sampai tua sehidup semati
Enggang itu hinggap di pohon bangris
Bercerita tentang setia Memadu kasih sepanjang waktu
Biarlah aku dan betinaku
Tetap bebas terbang tinggi
Hinggap di ranting pohon
Makan buah kalangkala
Bertengger di dahan
Meranti bersarang di lubang kayu
Bercengkrama dengan paruhku yang elok
Menari dengan sayap dan ekorku nan elok.
Tanjung Redeb, 25 Juni 2025
Melalui dua puisinya itu, Saprudin Ithur tidak hanya menyusun bait-bait indah, tetapi juga mengangkat kearifan lokal yang lahir dari kedekatan manusia dengan alam. Elang menjadi perlambang kebebasan, sementara enggang menjadi simbol kesetiaan. Dua burung itu seakan menjadi penjaga langit dan hutan Kalimantan, sebagaimana Saprudin menjaga cerita rakyat agar tetap hidup di tengah arus modernitas.
“Alam Indonesia harus tetap terjaga. Hutan tetap lestari, laut harus tetap lestari. Agar elang dan enggang tetap hidup bebas dan terus terbang tinggi,” tuturnya tegas dihadapan tim Suarastra.com, pada Selasa (9/9/2025).
Pernyataan itu seakan merangkum seluruh perjalanan hidup dan karya-karya Saprudin Ithur, menjaga warisan budaya, merawat alam, serta menanamkan pesan kearifan kepada generasi muda.
Lewat legenda, puisi, dan dedikasinya, ia menjadi sosok yang tak hanya mencatat sejarah, tetapi juga menyalakan cahaya bagi masa depan kebudayaan Berau dan Kalimantan Timur.
(Caa)

