Suarastra.com – Salah satu penikmat puisi itu duduk tenang di sudut ruangan, matanya menerawang pada bait-bait yang ia deklamasikan dari lembaran di tangannya. Ia membaca puisi dari penyair yang tak pernah ia temui, namun terasa begitu akrab dalam tiap larik dan jeda.
“Entah mengapa, seperti pernah hidup di dalam puisi ini,” gumamnya pelan.
Suaranya pelan, namun penuh makna, seolah kata-kata itu telah menetap lama di hatinya, hanya menunggu waktu untuk diucap. Sesuai namanya, Listy membaca 1 puisi yang berjudul “Senja 1” dengan sangat lembut ..
“Puisi ini… seperti senja yang berbicara pada jiwa,” bisiknya, lalu mulai membaca.
Senja 1
Ketenangan senja terusik
Pada rindu ujung perahu nan membelah air danau
Burung-burung mengepak pulang tanpa janji
Bahwa Esok kan kembali
Pada riaknya
Hingga lipatan cahaya paling akhir
Masih saja aku duduk di atas perahu
Memanggilmu mengeja rindu
Demikianlah Danau Semayang masih setia menyimpan rahasia
Dengan bahasa yang hanya difahami
Oleh air angin dan senja
“Aku seperti mendengar danau itu menjawab…,” ucap Listy lirih setelah selesai membaca, senyum samar mengambang di wajahnya.
Dan pada saat itu, tak seorang pun menyadari bahwa dalam keheningan sudut ruangan, puisi telah menjelma menjadi jembatan rahasia menghubungkan jiwa-jiwa yang pernah merasa kehilangan, lalu pulang dalam diam yang syahdu.
(Caa)