Konon, di zaman yang kini hanya tinggal dalam kenangan, para orang tua kerap berpesan dengan nada setengah serius, setengah bergurau ..
“Jangan keluar saat hujan panas, nanti ditangkap hantu…”
Kalimat itu bergaung lamat-lamat dalam tawa anak-anak kampung, yang berlarian di bawah gerimis bercampur cahaya mentari, seolah-olah dunia sedang bimbang, hendak menangis atau tersenyum.
Di beberapa kampung tua yang masih menyimpan bisik angin leluhur, hujan panas diyakini sebagai pertanda: makhluk tak kasatmata sedang berpindah tempat. Hantu yang menunggang cahaya dan menari dalam hujan. Ia melintas diam-diam, membawa aura asing yang membuat bulu kuduk meremang dan dedaunan bergemerisik tanpa sebab.
Namun di balik kisah mistis itu, terselip makna yang lebih dalam. Nasihat tersebut bukan semata dongeng pengantar senja, ia adalah pengetahuan yang dibalut rasa takut, agar mudah diterima, agar ditaati tanpa banyak tanya.
Sebab hujan panas adalah pertanda alam yang bergolak seketika. Udara mendadak gerah dan lembap, langit terang tapi mengandung beban. Inilah saat di mana tubuh manusia, terutama yang lemah seperti anak-anak dan para lansia, lebih mudah diserang demam, meriang, bahkan masuk angin.
Petuah lama itu mengajarkan sesuatu yang tak tertulis :
Bahwa tak semua yang tampak indah dan menggoda pantas dikejar. Bahwa ada waktu di mana diam lebih bijak dari berlari. Bahwa menjaga diri kadang artinya menahan hasrat bermain dalam hujan yang bercahaya.
Karena di antara rintik dan terik, mungkin saja ada yang sedang melintas. Bukan manusia. Bukan pula bayang-bayang.
Tapi sesuatu… yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang percaya.
#Avisapranatungga