Suarastra.com – Di tepian Mahakam, sejarah selalu berbisik melalui riak air yang mengalir. Erau, yang dalam bahasa Kutai disebut Eroh yakni ramai, bergembira, berpesta, lahir dari pusaka agung Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Ia bukan sekadar perayaan, melainkan denyut kehidupan yang telah berdetak sejak masa Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Sejak beliau menapaki usia lima tahun, ritual tijak tanah dan mandi ke tepian menandai langkah awal Erau. Ketika dinobatkan sebagai Raja pertama Kutai Kartanegara pada 1300-1325, Erau kembali mengumandang, mengukuhkan singgasana yang dijunjung rakyatnya.
Sejak saat itu, setiap pergantian tahta hingga pemberian gelar bagi tokoh berjasa, selalu diselimuti oleh keagungan Erau.
Menjamu Benua, Menyatukan Alam dan Leluhur
Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura XXI, H Aji Muhammad Arifin, menuturkan bahwa inti dari Erau tetaplah pada prosesi sakral.
“Kami dari pihak Kesultanan menangani prosesi adat sakral Erau, untuk Erau adatnya kami fokus di Kedaton,” ujarnya pada Rabu (20/8/2025).
Persiapan bermula dari prosesi Menjamu Benua, sebuah ritual persembahan kepada dunia gaib, sebagai penanda dimulainya Erau.
“Prosesi awal yang sampai saat ini tengah kami siapkan ialah Jamu Benua, setelah itu, kami akan melakukan ziarah di Kutai Lama,” sambung Sultan.
Menjamu Benua bukan hanya jamuan simbolik, melainkan doa yang merangkul bumi dan langit. Ia mengikat manusia dengan leluhur, memohon keselamatan agar pesta adat berjalan tenteram.
“Mudah-mudahan Erau tahun ini bisa lebih tentram dan damai,” harap Sultan dengan suara yang mengalun sehalus pusaka sejarah.
Pesta Rakyat, Warisan Milik Semua
Kesultanan tak pernah memagari Erau sebagai milik istana semata. Sultan mengajak seluruh rakyat Kutai Kartanegara untuk hadir dan turut merayakan.
“Supaya Erau ini bisa bernuansa yang lebih menghidupkan adat istiadat Kutai ini. Erau bukan hanya milik kerajaan, melainkan milik rakyat lewat pesta rakyat,” tegasnya.
Dari kedaton hingga halaman rakyat, Erau adalah jembatan yang merangkul semua lapisan. Ia menghidupkan kembali nyanyian tua, tari-tarian pusaka, dan semangat gotong royong yang menyatu dalam satu harmoni.
Sulaman Dukungan dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), berdiri sebagai sahabat yang menyulam dukungan. Kepala Disdikbud Kukar, Thauhid Afrilian Noor, menyampaikan bahwa akhir Agustus nanti menjadi momentum peluncuran resmi.
“Kita akan launching Erau itu, mulai kapan pelaksanaannya, apa ikonnya dan bagaimana logonya. Semua akan kita perkenalkan, termasuk tema dan lagu pengiringnya,” jelas Thauhid.
Lebih jauh, ia menegaskan pentingnya menjaga seni lokal sebagai roh kebudayaan.
“Terkait masalah kesenian kita harus dorong dan kita kembangkan, salah satunya ialah kesenian musik lokal yang memang harus kita jaga. Walaupun memang ada instrumen yang diubah sedikit, tetapi tidak menghilangkan ciri khas atau keaslian dari musik tersebut,” tuturnya.
Sakral di Kedaton, Meriah di Sudut Kota
Thauhid juga menegaskan bahwa pemerintah senantiasa menghormati batas-batas sakral.
“Saya tekankan juga, kita pemerintah tidak berani mencampuri urusan dari pihak Kesultanan, karena ini acara sakral dan pihak Kesultanan lah yang mengerti hal itu. Kita hanya ikut di acara pembukaan, beseprah, dan expo untuk memeriahkan kegiatan Erau 2025,” pungkasnya.
Maka, Erau 2025 bukan sekadar perayaan, melainkan simfoni kebersamaan. Kesultanan menjaga pusaka adat di kedaton, sementara pemerintah memayungi semarak pesta di halaman rakyat.
Di tepian Mahakam, Erau kembali bernafas menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu tarian waktu yang abadi.
(Azm)