Suarastra.com – Sebuah dialog budaya yang digelar di Balai Adat Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun Darat, Kutai Kartanegara (Kukar), pada Minggu (7/12/2025) menghadirkan perbincangan mendalam tentang masa depan masyarakat hukum adat dan pengelolaan kawasan hutan adat yang terus diperjuangkan keabsahannya.
Kegiatan yang bertajuk “Dialog Budaya Masyarakat Hukum Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang,” itu diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah (BPK) XIV Kalimantan Timur dan Utara (Kaltimtara) yang berkaloiborasi dengan masyarakat adat Desa Kedang Ipil.
Dalam agenda dialog budaya yang berlangsung di Desa Kedang Ipil, masyarakat adat menyampaikan beragam aspirasi terkait upaya mempertahankan identitas kultural mereka. Warga menegaskan pentingnya menjaga tradisi serta keberlanjutan kebudayaan yang selama ini menjadi penopang kehidupan sosial mereka.
Salah satu isu yang paling menonjol adalah permintaan percepatan penerbitan peraturan daerah mengenai kawasan hutan adat di Kedang Ipil. Masyarakat menilai regulasi tersebut sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini mereka kelola secara turun-temurun.
Aspirasi itu disampaikan langsung kepada berbagai instansi dari pemerintah daerah Kukar, serta para pejabat kementerian dan lembaga terkait yang hadir dalam kegiatan tersebut. Hadir dalam kesempatan itu Direktur Jenderal Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi, Restu Gunawan, Direktur Bina Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Kebudayaan, Sjamsul Hadi, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, serta perwakilan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV Kaltimtara, Lestari.
Direktur Jenderal Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi, Restu Gunawan menyampaikan, apresiasi atas terbitnya Peraturan Bupati tentang pengakuan masyarakat hukum adat di Kedang Ipil. Baginya, regulasi itu bukan sekadar dokumen hukum, tetapi sebuah tonggak sejarah.
“Pengakuan ini bisa menjadi inspirasi bagi daerah lain. Masyarakat adat adalah garda terdepan dalam pelestarian kebudayaan,” ucap Restu saat diwawancarai awak media.
Restu menegaskan, bahwa keberadaan masyarakat adat sangat erat dengan ruang hidup mereka seperti tradisi, tempat ritual, hingga hutan adat yang menjadi pusat identitas. Karena itu, ia berharap penetapan hutan adat segera menyusul, memberikan kepastian bagi masyarakat dalam menjaga ritual dan ruang penghidupan mereka.
“Yang penting setelah ini adalah proses identifikasi, pencatatan, dan dokumentasi. Jika tidak didokumentasikan, tradisi bisa hilang,” tambahnya.
Dirinya juga menyinggung, pentingnya dukungan dari seluruh elemen masyarakat terhadap RUU Masyarakat Adat. Tercatat, sekitar 2.000 kelompok adat di Indonesia dan baru sekitar 190 yang memiliki regulasi pengakuan, pekerjaan besar masih menanti.
“Kita perlu kerja sama erat antara pemerintah pusat, daerah, dan komunitas adat. Prinsip kita adalah gotong royong membangun ekosistem kebudayaan,” kata Restu.

Sementara itu, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian menegaskan, bahwa pengakuan masyarakat adat tidak berhenti pada administrasi atau tapal batas permukiman. Lebih dari itu, ia menyentuh aspek ruang hidup yang lebih luas.
“Keberadaan masyarakat adat bukan hanya soal permukiman. Ada ruang untuk mereka berusaha, ruang ritual, hingga tempat-tempat sakral yang harus dilindungi,” ujar Hetifah.
Dia menilai pengakuan hutan adat menjadi kebutuhan mendesak, meski harus melalui proses verifikasi dan pengajuan wilayah. Kepastian hukum diperlukan agar kawasan adat tidak tumpang tindih dengan kepentingan lain.
Selain itu, Hetifah mengaitkan dialog ini dengan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang mencakup sepuluh objek pemajuan kebudayaan, mulai seni, tradisi, ritual, hingga kuliner lokal. Semua itu, menurutnya, harus dilestarikan sekaligus dimanfaatkan.
“Kebudayaan bukan hanya kegiatan yang menyerap anggaran. Jika dikelola dengan benar, budaya membawa manfaat ekonomi dan bisa meningkatkan kesejahteraan,” tegasnya.
“Seperti yang kita lihat di sini, daerah ini merupakan penghasil gula merah yang berkualitas. Jika diberikan perlindungan, kemudian pembinaan yang lebih maju dan terarah, tentu bisa meningkatkan nilai ekonominya bagi masyarakat,” timpal Hetifah.
Dialog budaya di Kedang Ipil hari itu tidak hanya menjadi forum diskusi, tetapi juga jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan harapan masa depan. Dengan dukungan regulasi, dorongan pusat, dan kekuatan gotong royong, masyarakat adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang berharap hutan adat mereka segera mendapatkan pengakuan penuh.
(Oby/Mii)

