Suarastra.com – Hamdani, lahir di Samarinda pada 18 Oktober 1960, adalah sosok wartawan sekaligus seniman yang kiprahnya begitu mewarnai dunia seni, budaya, dan literasi di Kalimantan Timur. Berdomisili di Perumahan Sempaja Lestari Indah, Samarinda, ia menamatkan pendidikan tinggi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman.
Sebagai Ketua Harian Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Timur, Hamdani dikenal produktif dan konsisten dalam mengabdikan diri pada kebudayaan. Berbagai penghargaan telah ia terima, di antaranya Tokoh Seni Budaya Kaltim 2021 serta Anugerah Kebudayaan Kaltim 2022 dari Gubernur Kalimantan Timur. Ia juga berperan penting dalam penyusunan serta pembacaan Komitmen Pemajuan Kebudayaan Kaltim untuk Ibu Kota Nusantara di hadapan Presiden RI tahun 2023, serta menjadi tim penilai Anugerah Kebudayaan Kaltim tahun 2024.
Kiprahnya tentu tidak hanya tercermin dalam karya tulis, tetapi juga lewat puisi-puisi yang menggugah.
Dalam puisinya berjudul Mati I, ia menuliskan :
Matipun belum usai
lantaran dustapun dikhianati
dalam komik siksa kubur
sejumput pahala diselingkuhi
kematian itu tak sepi
ajaklah kematian berpesta
menegak madu memabukkan
tak habis-habis
tak habis-habis
tak habis-habis
(Mahakam, 8 Oktober 2021)
Karya-karya Hamdani membentang luas, mulai dari pendidikan, sejarah, olahraga, hingga kesenian dan novel. Beberapa di antaranya adalah Sungai Kehidupan: Geliat Penataan Sungai Mahakam dan Sungai Karang Mumus (2002), Kampung HBS, Kampung Pejuang dan Saudagar (2004), Prestasi Samarinda, Prestise Kaltim (2006), Jejak Sejarah Masjid Raya Samarinda (2010), novel Cinta Kuyang (2011), Sejarah Gerakan Perjuangan Rakyat Kaltim (2016), Khazanah Seni Tradisional Kalimantan Timur (2021), hingga Bubur Peca (2024).
Puisinya yang lain, Mati II, seakan merefleksikan renungan tentang batas dan kesepian :
mati
sumur tak berbatas
mati
bioskop tanpa penonton
layar sepi
mati
(Mahakam, 8 Oktober 2021)
Selain menulis buku dan puisi, Hamdani juga aktif sebagai penulis naskah drama, sutradara, narasumber, juri berbagai lomba seni dan budaya, serta terlibat dalam penyusunan regulasi kebudayaan di Kaltim. Perannya dalam berbagai forum kebudayaan, baik lokal, nasional, maupun internasional, menjadikannya salah satu tokoh penting yang menjaga, merawat, dan mengembangkan identitas kultural Kalimantan Timur.
Dalam puisinya yang berjudul Jangan Cari Aku, Hamdani menegaskan suara lirih sekaligus tajam dari seorang seniman yang merasakan getir zaman:
Jangan cari aku di riak Mahakam
Sudah keruh pekat hitam
Jangan cari aku di antara bintang-bintang
sudah kesasar di kebakaran hutan
Jangan cari aku di gelap malam
sudah jadi lukisan di pinggir jalan
(Cintaku kini numpang di drone)
(Mahakam, 8 Oktober 2021)
Dengan rekam jejak yang panjang, penghargaan yang gemilang, dan karya-karya yang abadi, Hamdani tidak hanya dikenal sebagai wartawan dan seniman, tetapi juga sebagai penjaga denyut kebudayaan Kalimantan Timur.
(Caa)

