Suarastra.com – Pagi itu, di aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), suasana menjadi hening ketika Suparno Ghopar, seorang penyair dan penulis yang aktif menyalurkan kritik sosial melalui karya-karyanya, berdiri di hadapan para hadirin.
Dikenal lewat berbagai tulisan yang kerap ia bagikan di media sosial, Suparno Ghopar bukan hanya menulis, melainkan juga menghidupkan kata-kata sebagai suara nurani. Ia adalah sosok yang menautkan literasi dengan kepedulian pada bangsa, seorang yang pernah berkiprah dalam berbagai ruang seni dan komunitas budaya.
Dengan suara tenang namun penuh getar, ia melantunkan puisinya yang berjudul “Peduli Pada Semesta.” Bukan sekadar rangkaian kata, melainkan alunan jiwa yang mengetuk kesadaran, menggugat arti kemerdekaan yang sejati.
…
Peduli Pada Semesta
Oleh : Suparno Ghopar
Delapan puluh tahun usia senja
Kalau itu berlaku untuk manusia
Agak berbeda jika itu untuk negara
Menjadi usia yang matang tertata.
Berbeda dengan kondisi Indonesia
Sudah delapan puluh tahun merdeka
Namun rakyat belum merasa merdeka
Masih banyak larangan yang direka-reka.
Merdeka dasar hidup yang paling mewah
Bukan untuk hidup semaunya dengan pongah
Apalagi hanya berlomba mengejar mencari hadiah
Hidup merdeka hak seluruh rakyat sebagai Amanah.
Kucoba berbisik lirih kepada semesta
Mengapa aturan negeriku kacau tak tertata
Mengapa bintang tak lagi bersinar di gelap gulita
Negeriku merana dirampas serakah para pendusta.
Tikus-tikus tamak menelan apa saja yang disuka
Nikel batu bara emas minyak uang dan tembaga
Nafsu dunia membuncah segala tipu daya dicoba
Endingnya yang hidup enak tetap para pejabat.
Warta tentang nasib rakyat terus dibahas setiap saat
Mengumbar senyuman dengan penuh semangat
Mempermainkan peran di panggung terlaknat
Menikam jantung hati menambah pilu nasib rakyat.
Tuhan apakah Engkau masih sibuk memilih mengabulkan doa
Negeriku dilanda gempa dahsyat dari ledakan korupsi bersama
Tikus berdasi beraksi berjamaah dalam suasana sunyi senyap
Hingga tatanan negara jadi porak poranda karena juga dimangsa.
Tuhan masih adakah Indonesia di masa depan
Jika hari ini terus jadi permainan para pimpinan
Menindas merampas menendang demi jabatan
Tak ingat lagi pada aturan negara dan aturan Tuhan.
Wahai tikus-tikus pemangsa segalanya
Keserakahan mengakar berjelaga dalam jiwa
Tak ada hati tiada peduli lagi pada derita sesama
Semua akan berhenti ketika Malaikat Izrail datang menyapa.
Kota Raja Tenggarong, 13 Agustus 2025
…
Hening menyelimuti ruangan setelah bait terakhir selesai. Tidak ada tepuk tangan meriah, hanya sunyi yang penuh arti, tanda puisi itu telah sampai ke lubuk hati para pendengar. Tentunya para finalis lomba cipta dan baca puisi.
Suparno lalu berkata lirih dengan suara parau nan bergema.
“Puisi ini saya tulis sebagai jeritan hati. Kemerdekaan yang sejati adalah ketika rakyat benar-benar merasakan hidup layak, bukan hanya segelintir pejabat. Saya hanya menitipkan suara ini kepada semesta,” ucapnya, pada Selasa (16/8/2025).
Kala itu, setelah selesai penjurian grand final lomba cipta dan baca puisi ASN, mahasiswa dan umum. Suparno Ghopar sebagai juri didaulat oleh pembawa acara tampil pertama dan dilanjutkan juri berikutnya Hamdani dan Syafruddin Pernyata.
Suparno Ghopar dengan puisinya melantumkan diksi yang cermat sebagai rekaman cermin kehidupan. Puisi menjadi penanda, bahwa di bumi Kutai, sastra tetap menjadi suara nurani, yang mengingatkan bangsa agar tak kehilangan arah di tengah zaman yang sedang bergejolak.
Lebih dari itu, puisi “Peduli Pada Semesta” juga mencatatkan prestasi membanggakan, yakni meraih Juara II dalam even nasional yang diselenggarakan oleh salah satu penerbit ternama Indonesia.
(Caa)

