Paragraf Akhir :
Maka di tengah gema zaman yang kian riuh oleh suara digital, Dialog Serantau Borneo-Kalimantan bukan sekadar pertemuan jasad, melainkan musyawarah jiwa-jiwa yang mencintai kata. Ia adalah rumah pulang bagi bahasa yang pernah menggenggam dunia, tempat sastera Melayu disematkan kembali ke takhtanya, sebagai pusaka, sebagai cahaya, sebagai penuntun akal dan nurani.
Dari Samarinda, suara leluhur kembali bergema, mengingatkan bahwa selama sastera masih dibaca dengan hati, dan ditulis dengan iman dan budi, maka jati bangsa ini tidak akan pernah hilang. Di sinilah kita menyulam masa depan dengan benang-benang emas warisan, agar anak cucu kelak mengerti bahwa,
“Jiwa yang diperkaya oleh sastera, adalah bangsa yang tidak mudah binasa”
(Caa)