Suarastra.com – Dengan iringan semilir angin dari Sungai Mahakam dan gemerlap cahaya kota yang mulai berpendar di malam hari, Samarinda menyambut para tamu agung dari seberang lautan dalam nuansa penuh khidmat. Pada Selasa (17/6/2025) malam, bertempat di Hotel Haris Samarinda. Kalimantan Timur menjadi tuan rumah pembukaan Dialog Serantau Borneo-Kalimantan (DSBK) XVI, sebuah perjamuan budaya yang melintasi batas negara dan bahasa.
Pertemuan ini bukan sekadar dialog, melainkan jalinan batin lintas negeri yang mengangkat warisan sastra Melayu sebagai nadi pemersatu peradaban yang telah tumbuh berabad-abad di sepanjang tepian sungai, rimba, dan laut Borneo. Dialog Serantau ini ditaja oleh Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Timur bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Timur, dan berlangsung hingga Jumat, (20/6/2025) mendatang.
Kegiatan ini mempertemukan para sastrawan, budayawan, dan pemikir dari Serawak, Sabah, Wilayah Persekutuan Labuan, Brunei Darussalam, serta provinsi-provinsi di Kalimantan. Mengusung tema “Nusantara dan Penguatan Sastra Melayu : Merawat Estetika dan Didaktika,”.
Dengan Mantra :
“SASTRA MEMPERKAYA JIWA – SASTRA MEMPERKASA BANGSA”
Dalam suasana penuh kehangatan dan kekeluargaan, Wakil Gubernur Kalimantan Timur, H. Seno Aji, secara resmi membuka helatan acara. Forum ini bukan sekadar ajang temu kata dan makna, tetapi juga jembatan yang melintas waktu dari masa kejayaan kerajaan-kerajaan Melayu di tanah Borneo hingga ke era digital yang kian mendesak nilai luhur agar tetap berjejak.
“Kami ucapkan selamat datang di bumi etam, Semoga tuan-tuan dan puan-puan sekalian berkenan menetap sejenak di Kalimantan Timur, tanah yang akan menjadi Ibu Kota Negara Indonesia, yakni Ibu Kota Nusantara (IKN). Kehormatan besar bagi kami, karena Kalimantan Timur dipercaya menjadi tuan rumah Dialog Serantau yang tak hanya mempertemukan bangsa, tetapi juga menyulam benang-benang budaya yang pernah bersatu dalam sejarah,” ungkapnya penuh makna dan sarat rasa.
Ia juga menyinggung momen penyambutan yang penuh tradisi khas yang menandakan budaya tak hanya tumbuh, namun terus terjulur dari akar hingga ke Bumi Etam.
“Saya disambut dengan beras putih atau beras kuning dan tepung tawar, tradisi warisan kerajaan Kutai di tanah rumpun ini. Satu adat yang menyatukan negeri, menyatukan hati,” lanjutnya.
Seno Aji pun memuji kedalaman sastra yang terasa sejak awal perhelatan. Ia menyebut doa pembukaan yang dibacakan Amien Wangsitalaja sebagai doa yang bukan semata permohonan spiritual, tetapi telah menjelma sebagai puisi lintas batas.
“Itu bukan sekadar doa. Itu sastra. Doa yang menggetarkan, meretas batas negara, menyentuh dasar kalbu kita bersama,” tuturnya.
Dalam pandangannya, sastra tidak hanya memperkaya jiwa, tetapi juga memperkasa bangsa. Maka, kegiatan DSBK ini menjadi medium dialog, penyatuan suara, dan pemaknaan ulang terhadap peran sastra Melayu dalam membentuk karakter, mencerminkan etika, dan menjadi suluh arah bagi kebijakan kebudayaan. Wakil Gubernur juga menyampaikan apresiasi atas beragam kegiatan yang telah dan akan dijalani para peserta. Dari muhibah budaya, rembuk sastra, wisata budaya, hingga penyusunan rekomendasi tematik, semua menunjukkan bahwa Dialog Serantau ini tidak hanya berdiam di ruang hotel, tetapi meresap ke dalam denyut nadi masyarakat, menyentuh hak-hak budaya yang menghidupi seluruh aspek sosial.
“Perjalanan ini bukan sekadar berkumpul dan berbincang. Ini adalah ziarah kultural, peneguhan kembali bahwa sastra adalah napas peradaban. Sastra yang hidup, tumbuh, dan menyinari kehidupan bangsa,” tandasnya, seraya tersenyum selebar ruas jari.
Dengan semangat yang menyala dalam kata-kata, pertemuan ini diharapkan menjadi ladang bagi lahirnya gagasan segar, kerja kolaboratif, dan rekomendasi strategis yang memperkuat posisi sastra Melayu di tengah gempuran zaman dan kebijakan pemerintahan. Sebagai penutup, para tamu undangan, tokoh sastra, dan peserta dari tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam turut serta dalam tarian Melayu yang meriah, sebagai lambang kesatuan rasa dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya yang terus hidup.
Selintas pandang Suarastra.com :
Sastra sebuah nafas panjang dari zaman ke zaman. Ia merasuk ke dalam nadi, memekarkan pemahaman, menumbuhkan empati, menyatukan yang tercerai oleh batas dan bendera. Di sini, kata-kata bukan sekadar rangkaian bunyi, namun ia adalah benih yang ditanam dalam hati, tumbuh menjadi pohon kearifan bangsa.
DSBK XVI menjadi penanda bahwa bahasa dan budaya tidak pernah mati. Ia hanya menunggu kita untuk kembali merayakannya, dalam dialog, dalam karya, dalam gerak dan diam manusia yang masih percaya pada kekuatan kata-kata.
Karena sejatinya, selama kata masih dipeluk dengan kasih, selama makna masih disemai dengan cinta, bangsa ini tak akan kehilangan arah. Sebab dalam sastra, jiwa menemukan cahayanya dan bangsa menemukan jati dirinya.
(Caa)