Suarastra.com – Besok, Komplek Museum Mulawarman, akan menjadi ruang pertemuan budaya. Di tempat itu, berbagai unsur tradisi Kutai Kartanegara akan ditampilkan dalam bentuk pameran, pertunjukan, dan kegiatan edukatif. Namun tahun ini, suasananya hadir dengan wajah berbeda.
Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) 2025 tidak lagi menjadi ajang perlombaan. Kegiatan ini beralih arah menjadi ruang belajar bersama tentang kebudayaan, di mana masyarakat diajak mengenal lebih dekat warisan daerahnya.
“Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, PKD kali ini tidak mengadakan lomba. Fokusnya lebih kepada pengenalan dan edukasi budaya kepada masyarakat, terutama bagi peserta didik,” ujar Pamong Budaya Ahli Muda Bidang Cagar Budaya dan Permuseuman Disdikbud Kukar, M. Saidar, Senin (20/10/2025).
PKD 2025 akan digelar pada 21 hingga 25 Oktober dengan mengusung tema 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK). Kegiatan ini melibatkan berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta pelaku budaya dari berbagai bidang.
Setiap stan pameran disiapkan sebagai ruang interaksi. Dispora menampilkan permainan tradisional seperti gasing, belogo, dan egrang. Dinas Koperasi dan UMKM menghadirkan produk serta kuliner khas Kukar yang menjadi bagian dari identitas lokal.
Saidar mengatakan, konsep baru ini dirancang agar generasi muda bisa belajar langsung dari sumber budaya yang ada di sekitarnya. Mereka tidak hanya menonton, tetapi juga terlibat dan merasakan pengalaman kebudayaan secara langsung.
“Kami ingin sekolah-sekolah terlibat agar siswa bisa mengenal langsung kekayaan budaya Kutai Kartanegara, bukan hanya lewat buku,” tuturnya.
Sebagai penutup, pemerintah daerah akan menggelar Malam Anugerah Budaya untuk memberikan penghargaan kepada para seniman dan budayawan yang telah berkontribusi menjaga warisan tradisi daerah.
“Ini bukan hanya pameran, tapi wadah apresiasi. Kami ingin memberi ruang bagi para pelaku budaya yang selama ini berkontribusi dalam menjaga identitas daerah,” kata Saidar.
Dengan menghadirkan 12 stan pameran, PKD 2025 diharapkan menjadi momen perenungan, bahwa kebudayaan tidak tumbuh dari tepuk tangan atau piagam penghargaan, melainkan dari kesediaan kita untuk memahami, merawat, dan mewariskannya dalam keseharian. Dari sanalah, napas baru kebudayaan Kutai Kartanegara akan terus berdenyut.
(Mii)

