Suarastra.com – Ada banyak hal yang tak bisa dijangkau dengan data dan angka. Ada suara, aroma, bahkan memori trauma yang tidak tercatat dalam laporan kuartal. Di sela kilau industri dan geliat pertumbuhan ekonomi, di satu kota yang bersetia pada pantai dan laut, Bontang menyimpan kisah-kisah kecil yang tak kunjung usai. Demikian dengan ketersediaan berbagai fragmen yang ada disekitarnya, dijemput dan dihimpun dalam antologi puisi bertajuk Entropi Bontang, sebuah antologi yang disusun oleh Andria Septy dkk, serta dikuratori oleh Joko Pinurbo dan Suwarno Wisetrotomo.
Entropi Bontang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Muhibah Budaya 45 Tahun Pupuk Kaltim, sebuah inisiatif budaya yang diadakan untuk memperingati ulang tahun PT. Pupuk Kalimantan Timur (PKT). Alih-alih menjadi selebrasi formal, buku ini justru menawarkan pendekatan yang lebih reflektif. Ia tidak bicara soal pencapaian industri, melainkan tentang wacana ekologis yang dinamis, tentang ruang hidup yang bernegosiasi dengan modernitas, dan tentang suara-suara lokal yang mencoba tetap terdengar. Karenanya, Entropi Bontang memiliki spirit untuk memotret ulang lanskap yang acapkali terlupakan dalam narasi besar pembangunan.
Beberapa penyair perempuan kondang, seperti Inggit Putria Marga dan Ni Made Purnama Sari, turut berpartisipasi untuk mencoba menyelam bersama ke dalam suatu ruang yang kecil, yang ada di dasar, yang seringkali luput dari perhatian, namun justru dari sanalah kehidupan tumbuh dan berlanjut. Para penyair dalam buku ini berupaya menggali kembali relasi antara manusia, lingkungan dan bahasa, di tengah pusaran entropi yang terus bergerak tak menentu.
Sebagai pembaca yang lama terkena udara Kaltim, agaknya harus menempatkan posisi diri saya dengan membentuk kesadaran dan ketertarikan yang kuat terhadap proses pengkaryaan dari pengarang Kaltim pula, terkhusus bicara soal Bontang. Maka sebab itulah, saya membatasi hanya memilih puisi-puisi milik Andria Septy saja. Saya tak bilang puisi penyair lain itu jelek, atau tak cocok, atau apalah, hanya antisipasi agar apa yang saya tulis menjadi relate dan tetap lurus di jalur yang semestinya. Saya rasa, puisi-puisi Septy cukup sebagai pijakan awal untuk meninjau tafsirannya terkait berbagai fragmen ekologis Bontang dengan lebih jauh. Untuk memulainya, mari kita membaca sejenak kutipan bait pertama dan kedua dari puisi Andria Septy berjudul “Kapal Stanley Bay (1): Kapal Pengangkut Pupuk”, sebagai berikut:
Kiprah kapal pengangkut pupuk itu
laksana penyihir yang berlimpah pikatnya
menyalin diri ke dalam jubah biru malam
atau, gaun biru dongker polos tak bersulam
Inikah gestur perjumpaan kita?
Ia bersandar anggun di tepi dermaga
walau angkuh nian lengkap tampilkan
struktur wajah aslinya, di bawah awan gemawan
seperti gajah putih dan dingin laut asin yang tak lagi asing,
inilah obrolan di siang bolong yang sayup bising.
(Juni 2022)
Dari bait pertama saja, perangainya sebagai pengarang observatif, Septy mencoba melibatkan dirinya sebagai pengunjung, ditambah Septy memotretnya dari kacamata seorang turis yang kritis, yang memandang suatu wilayah dalam nuansa yang eksotis dan indah. Akan tetapi, dengan kegamangannya, Septy tak luput melemparkan sebuah detail yang menyentil. Melalui larik pertama dan kedua dari bait pertama, Septy menyamarkan beberapa objek yang dianggap mempunyai daya rusak di hadapan publik. Penafsiran tersebut seperti ingin menyatakan, bahwa banyak infrastruktur wisata atau industri yang mengklaim ramah lingkungan, namun secara diam-diam menciptakan daya ledak dan kerusakan ekologis struktural.
Masuk dalam kerangka eco-tourism, yang menekankan pada keberlanjutan, pelestarian lingkungan, dan partisipasi komunitas lokal, puisi ini dapat dibaca sebagai otokritik terhadap industri pariwisata dan ekonomi ekstraktif yang niretik. Penggunaan frasa seperti “penyihir”, “gaun biru dongker”, dan “gajah putih”, pelan-pelan menunjukkan bagaimana laut dan pelabuhan dikomodifikasi secara sistematis. Mereka tampak magis, perihal menyimpan sebuah efek ekologis dan sosial yang tidak selalu terlihat sehat.
Masuk ke bait kedua, Septy juga ingin menyatakan dengan tegas terkait posisinya sebagai intelektual yang berpihak. Ungkapan-ungkapan di bait kedua, dalam larik keempat, berbunyi “dingin laut asin yang tak lagi asing”, menandakan alienasi ekologis, bahwa laut bukan lagi ruang alami atau spiritual, melainkan wujud industri. Dalam konteks semiotik, larik tersebut merupakan pemaknaan kultural dan ideologis yang melahirkan tanda ambiguitas.
Melihat puisi-puisi lainnya, Septy tidak membatasi pada persoalan lanskap. Ia menggali Bontang dari gejala lain yang kian mulai rusak namun belum hancur, menyala namun belum terbakar. Puisi berjudul “Bunga Tidur di Kapal Berbendera Panama Stanley Bay (2)”, misalnya, larik-larik pendek dan frasa yang berpindah-pindah dari tepi laut ke tepi batin, membawa pembaca menemukan jejak kekacauan ekologis yang tak hanya terjadi di luar tubuh manusia, ia merasuk di dalam kesadarannya yang paling sunyi. Untuk melengkapi, mari simak puisi tersebut sebagai berikut:
Suatu hari, di musim entah cempedak atau durian
kau meragu acara ramah-tamah sedemikian,
tak sekali pun kau pernah menyapa lembut lautan
mencicip sedikit asinnya percik ombak,
amarahmu tak sampai meledak berlena, hanya merona
serupai dinding bata atau langit senjakala
terlebih, bilah pandang hanyut bertali kencang di tepi dermaga
lewati lembaran bendera karnaval Panama
atas spekulasi setinggi langit yang perak
besuk kembali serindai angin
yang barangkali terlampau semarak
racuni cuaca buruk di pikiran purbamu
(Juli, 2022)
Puisi ini dibuka dengan bait pertama larik pertama tentang musim yang kabur. Cempedak atau durian, dua buah tropis yang punya musim panen yang khas, kini hadir dalam keraguan. Septy menyampaikan sesuatu yang sederhana tapi berisik bagai sirine yang menyala. Musim tidak lagi punya kejelasan. Ketidakpastian ini adalah gejala yang akrab dalam kajian ekokritik, ketika krisis iklim mengaburkan keteraturan alam. Pernyataan tersebut berkaitan dengan salah satu tanda krisis ekologis dalam sastra adalah ketika waktu dan musim saling bergesekan menjadi latar yang tidak stabil.
Jika melihat dari bait pertama larik keempat dalam kerangka ekokritik, relasi manusia dan alam idealnya bersifat resiprokal dan penuh hormat. Tapi di sini, yang hadir justru keterputusan. Manusia dalam puisi ini bukan hanya menjauh dari alam; ia bahkan tak punya cukup rasa ingin tahu untuk “mencicip” asinnya laut. Kita berhadapan dengan subjek yang resah, tapi pasif. Ia tahu ada yang salah, tapi memilih menontonnya larut dalam temaram.
Melalui puisi tersebut, Septy menutupnya dengan nada pasrah yang tak utuh. Spekulasi setinggi langit menandai epistemologi dunia modernitas, terlalu banyak dugaan, terlalu sedikit kebijaksanaan ekologis. Angin yang semarak, terlalu puitis untuk jadi petunjuk cuaca, justru jadi metafora dari iklim yang tak menentu. Ia bisa lembut, bisa ganas. Dan dalam tafsir yang lebih dalam, Septy telah “meracuni pikiran purba” pembaca—yakni insting dasar manusia yang dulu peka terhadap tanda-tanda alam.
Akhir kalam, Septy cukup cermat dalam menyoroti celah-celah ekologis dan keganjilan ruang hidup di sebuah kota industri dan wisata yang nyaris tak pernah lepas dari laut dan riuh mesin. Puisi-puisi Septy mengajak pembaca menyusuri lanskap kota bukan hanya sebagai ruang fisik, tetapi juga sebagai medan tafsir yang kompleks, perihal relasi manusia, alam, dan kuasa. Namun, mengingat Entropi Bontang adalah bagian dari proyek resmi yang digagas oleh korporat, saya paham ketika Septy menempuh jalan yang lebih berhati-hati. Alih-alih menyuarakan protes secara frontal, terlihat ia memilih perangkat dan simbol yang subtil dan tenang, dengan struktur bahasa yang beliuk-liuk, walau tetap terdengar cemas pada akhirnya. Kecermatannya nampak mengesankan, tetapi juga menuntut pembaca untuk bekerja lebih keras, menebak-nebak apa yang sebenarnya ingin dikatakan.
TENTANG PENULIS
Cahaya Daffa Fuadzen merupakan mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Mengisi waktu senggangnya dengan menulis puisi, cerpen, dan esai. Aktif bergiat di Komune TerAksara Indonesia. Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai media daring dan dibukukan dalam antologi bersama. Pada tahun 2023, beberapa puisinya terhimpun dalam Cermin Lain di Balik Pintu Lamin: Lapisan Mutakhir Penyair Kalimantan Timur. Tahun 2025, dirinya terpilih dalam event sastra bertajuk Dialog Serantau Borneo-Kalimantan XVI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kalimantan Timur. Kini, ia tengah menyusun manuskrip puisi tunggal pertamanya. Dapat disapa melalui Instagram: @cahayadaffa_