Suarastra.com – Jembatan Besi di Tenggarong bukan sekadar penghubung dua tepi sungai. Dibangun pada akhir 1930-an oleh pemerintah kolonial Belanda, jembatan ini merupakan saksi bisu perjalanan sejarah Kutai Kartanegara (Kukar) mulai dari aktivitas bangsawan, pelabuhan rakyat, hingga jalur sultan menuju keraton. Namun kini, berstatus Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB), jembatan tua itu berada di ambang pembongkaran.
Rencana pembongkaran muncul sebagai bagian dari penataan Kota Tenggarong yang akan dimulai tahun 2025. Bupati Kukar Edi Damansyah menyebut pembaharuan jembatan masuk dalam rencana pelebaran kota dan telah melalui kajian teknis.
“Secara catatan, jembatan itu tidak masuk dalam kawasan budaya. Jadi mohon pengertiannya,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pembaruan dilakukan dengan mempertimbangkan usia bangunan yang sudah uzur. Namun, narasi sejarah yang melekat pada Jembatan Besi tidak bisa disangkal begitu saja.

Penggiat budaya, Yuyun, menyayangkan rencana tersebut. Menurutnya, jembatan itu bukan hanya struktur fisik, tapi juga penanda peradaban.
“Itu ikon pertama Tenggarong. Selain bioskop lama dan keraton, jembatan itu bagian dari memori kolektif kami,” katanya.
Dikenal juga sebagai Jembatan Layang, struktur ini dahulu menghubungkan Kampung Panji, Kampung Melayu, hingga ke kebun-kebun karet di Timbau yang menjulur sampai Loa Kulu dan Samarinda. Sungai di bawahnya adalah jalur perahu ketinting dan pelabuhan rakyat. Bagi warga, jembatan ini juga jadi tempat bermain, bertemu, dan menyatu dalam ingatan bersama.
Budayawan sekaligus akademisi Kukar, Awang Rifani, menolak keras pembongkaran. Menurutnya, jembatan tersebut adalah bagian dari “story of city”, kisah identitas Tenggarong.
“Bayangkan jika museum dan keraton hilang dari kota ini. Apa yang tersisa dari sejarah kita?” tegasnya.
Ia menyoroti pentingnya menjaga simbol sejarah, karena sekali hilang, makna dan nilai yang dibawanya tak bisa dikembalikan meski dibangun ulang.
Lebih lanjut, Awang menekankan bahwa proyek pembangunan seharusnya membuka ruang diskusi publik. Ia mengaku baru mendapat surat pembongkaran tanpa ada proses dialog.
“Kami bahkan belum diajak bicara. Padahal, ini objek yang diduga cagar budaya,” jelasnya.
Ia mengusulkan agar jembatan dijadikan jalur pejalan kaki atau sepeda, sembari membangun jembatan baru untuk kendaraan berat di sisi lain.
Yuyun pun menggarisbawahi pentingnya kajian akademis sebelum mengambil keputusan.
“Kalau memang ingin membangun, bangun di sebelahnya. Replika pun bisa dibuat. Jangan langsung hilangkan yang asli. Sejarah ini lebih penting dari sekadar pembangunan,” ujarnya.

Meski tak tercatat secara resmi sebagai cagar budaya, jembatan ini telah terdaftar sebagai objek diduga cagar budaya. Dalam konteks Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, pelestarian nilai sejarah menjadi bagian dari kewajiban pemerintah daerah.
Narasi pembangunan seringkali mengabaikan jejak masa lalu. Namun masyarakat Tenggarong, lewat suara para budayawan, akademisi, dan warga asli, mengingatkan:
warisan bukan hanya benda tua, melainkan akar jati diri. Jika Jembatan Besi benar-benar dibongkar, bukan hanya struktur baja yang hilang, tapi juga serpih-serpih sejarah Kutai Kartanegara yang tak tergantikan.
“Kalau kita tidak mengenal sejarah, bagaimana kita bisa mengenal diri kita?” ujar Yuyun.
Sebuah pertanyaan yang mengundang renungan lebih dalam daripada sekadar menghitung nilai proyek dan struktur teknis.
(Mii)