Suarastra.com – Di tengah derasnya arus modernisasi dan budaya instan yang perlahan menggerus akar tradisi, ada sebuah sanggar seni yang terlekat di pinggiran Kota Tenggarong, tepatnya di Kelurahan Loa Ipuh, yang hari ini masih tetap setia menyalakan lentera kebudayaan khususnya pada budaya Suku Dayak Benuaq, yaitu Sanggar Seni Danum Bura.
Sanggar seni tersebut, dalam kesehariannya, tak sekadar menjadi wadah berkumpul bagi generasi pemuda-pemudi asli Suku Dayak, tetapi juga menjadi pusat pelestarian serta pengembangan kebudayaan yang mereka miliki. Di tempat sederhana yang jauh dari gemerlap kota, berbagai tradisi, tarian, hingga olahraga tradisional suku Dayak masih dijaga dan dipraktikkan dengan penuh kebanggaan.
“Kami berangkat dari pinggiran, karena kami ingin melestarikan adat budaya, khususnya adat budaya lokal suku kami (Dayak),” ungkap Ketua Sanggar Seni Danum Bura, Fulgensius Pendy Pradana.
Namun, jalan yang ditempuh sanggar seni Danum Bura itu tidaklah mudah. Di balik semangat besar, mereka dihadapkan pada kenyataan minimnya dukungan fasilitas dan peralatan. Keterbatasan ini menjadi alasan mengapa sanggar tersebut belum mampu mengikuti kegiatan-kegiatan yang berskala nasional.
“Kami memang berangkat dari pinggiran, tetapi kami harap suatu saat nanti bisa dilirik, untuk mengikuti kegiatan di kancah yang lebih tinggi, untuk dapat terus memperkenalkan budaya kami,” tuturnya.
Pendy tak menampik, dukungan nyata dari pemerintah dan berbagai pihak sangat mereka harapkan. Baginya, pelestarian budaya bukan semata tentang eksistensi, melainkan bagian dari menjaga jati diri bangsa yang semakin tergerus globalisasi.
“Harapan kami, mudah-mudahan pemerintah bisa lebih membantu dan fokus, karena ini adalah bagian dari pelestarian budaya. Kami juga berharap bisa mendapatkan masukan dan saran agar ke depannya bisa lebih baik,” tegasnya.
Danum Bura memiliki tiga andalan dalam setiap pertunjukannya, yakni Tari Gantar, Tari Piring, dan Tari Belian. Tarian-tarian ini bukan sekadar hiburan, melainkan simbol sakral yang merepresentasikan filosofi hidup Suku Dayak Menuak.
“Kami sudah pernah tampil di Samarinda, di acara-acara kedaerahan tingkat provinsi seperti PDKT, STB, dan Natal STB. Kami juga pernah mengikuti Eraw serta festival-festival di Kukar, seperti di Kedang Ipil. Selain itu, kami sudah dua kali menggelar festival di Spontan Baru,” jelas Pendy.
“Tak hanya tarian, sanggar seni ini juga masih merawat musik-musik dengan bahasa Dayak Benuaq yang biasa dikenal dengan Rijok,” timpalnya.
(Oby)