Suarastra.com – Terik matahari Tenggarong siang itu tak sanggup meredam suara lantang yang membelah udara. Ratusan massa berjejal di depan Kantor DPRD Kutai Kartanegara (Kukar), Senin (1/9/2025).
Dari warna-warni almamater mahasiswa, kibaran spanduk, hingga poster bernada kritik, tampaklah gelombang protes yang lahir dari satu rasa: kekecewaan mendalam terhadap kebijakan yang dianggap tak berpihak pada rakyat.
Aliansi yang menamakan diri Kukar Menggugat berdiri di garda depan. Mahasiswa, organisasi Cipayung, hingga elemen masyarakat, menyatu dalam barisan panjang. Suara mereka berlapis-lapis, menyeruak menjadi gema yang sulit diabaikan.
Di tengah kerumunan itu, suara Wawan Ahmad Jenderal Lapangan aksi mengalun tegas.
“Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan suara gabungan rakyat yang sudah lama terpinggirkan,” ucapnya, seakan meneguhkan bahwa hari itu adalah panggung rakyat.
Ia menyebut sederet tuntutan yang mereka bawa. Penolakan terhadap RUU KUHAP, penolakan tunjangan DPRD kabupaten/kota, provinsi, hingga DPR RI.
“Kami juga mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Adat,” seru Wawan.
Tak berhenti di sana, aliansi itu turut menyuarakan keadilan bagi tenaga pendidik dan pemerataan kualitas pendidikan di wilayah 3T.
Mereka menuntut pencabutan undang-undang yang dianggap menindas, serta menolak tindakan represif aparat terhadap rakyat yang bersuara di ruang publik.
“Hentikan oligarki politik, hentikan demokrasi palsu. Tegakkan supremasi hukum, akhiri kejahatan ekologis, konflik agraria, dan kejahatan dunia pertambangan. Reformasi Polri harus ditegakkan,” tuturnya.

Tuntutan itu, katanya, lahir dari kajian panjang, dan semua bertaut pada benang merah yang sama: absennya keberpihakan negara pada rakyat kecil.
“Harapan kami tuntutan ini bisa direalisasikan sehingga tidak sia-sia. Kalau tidak, kami siap turun lagi dengan jumlah massa yang lebih besar,” tegasnya.
Di balik sorak-sorai aksi, persoalan tambang ilegal di Kukar ikut diangkat. Isu itu mencuat sebagai luka lama yang belum pernah benar-benar terobati.
“Praktik tambang ilegal selama ini hanya merusak lingkungan dan infrastruktur, sementara masyarakat tidak mendapatkan manfaat apa-apa,” ucap Wawan.
Ia menambahkan, pelaku tambang ilegal kerap lolos dari kewajiban.
“Mereka tidak bayar pajak, merugikan masyarakat, dan merusak jalan. Sumber daya alam kita luar biasa, tapi secara finansial tidak kita rasakan,” katanya lagi.
Suara itu akhirnya berhenti di satu titik harapan: ketegasan aparat hukum.
“Kita semua sadar, tambang ilegal tidak boleh berjalan di Kukar. Kami berharap Polri tegas dan tidak melindungi pelaku. Masyarakat butuh keadilan,” pungkas Wawan, menutup siang itu dengan nada getir yang menggantung di udara.
(Oby/Azm)

