Suarastra.com – Pada Senin (28/07/2025) pagi, di ruang sidang utama DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) dipenuhi wajah-wajah yang sudah biasa menghadiri rapat-rapat formal. Namun ada satu sosok yang kehadirannya menyuntikkan nuansa yang jauh berbeda. Akhmad Akbar Haka Saputra, pria yang selama ini dikenal sebagai vokalis band metal KAPITAL, kini berdiri di tengah panggung yang tak lagi dihiasi dentuman gitar dan sorotan lampu, melainkan penuh tata protokol dan sumpah jabatan.
Hari itu, Akbar Haka resmi dilantik sebagai anggota DPRD Kukar sisa masa jabatan 2024-2029, menggantikan almarhum Junaidi dari Fraksi PDI Perjuangan. Namun, di balik prosesi pelantikan yang kaku dan seremonial itu, sesungguhnya tersembunyi pergulatan batin seorang seniman yang memilih menempuh jalan yang tak lazim bagi komunitasnya.
Di tengah balutan jas resmi, aura Akbar tetap memancarkan jiwa bebas seorang musisi. Tapi hari itu, dia membawa sesuatu yang lebih berat dari sekadar mikrofon di tangan, ia kini memanggul tanggung jawab atas suara rakyat.
Terpilihnya Akbar Haka bukanlah keputusan personal semata. Itu adalah mandat politik. Sebuah instruksi langsung dari Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Sebuah kepercayaan yang menempatkannya di garis depan perjuangan politik Kukar di masa transisi.
Bagi Akbar, ini bukan sekadar amanah struktural. Ini adalah panggilan nurani.
“Dulu saya pikir, cukup dengan musik saya bisa menyuarakan banyak hal. Tapi ternyata, ada realitas yang jauh lebih dalam ketika kita bersentuhan langsung dengan masyarakat,” ungkap Akbar.
Ia mengenang, bagaimana satu peristiwa kecil di Desa Muara Muntai mengubah perspektif hidupnya. Di sana, di sebuah masjid kecil tanpa atap, anak-anak yatim piatu belajar mengaji di bawah terik panas. Sebagai manusia, naluri Akbar tak mampu membiarkan itu begitu saja. Ia membawa proposal bantuan ke pemerintah daerah, berharap ada perubahan.
Namun di sanalah ia melihat kenyataan bahwa status sosial dan kanal politik memengaruhi seberapa cepat aspirasi direspons.
“Kalau saya datang hanya sebagai vokalis Kapital dan minta tolong ke bupati, mungkin akan lebih sulit. Tapi ketika saya datang sebagai kader PDI Perjuangan, suara saya lebih didengar. Saat itu saya sadar, jalur politik bisa menjadi sarana efektif untuk menyalurkan kebaikan,” ungkapnya.
Namun, Akbar tidak menutup mata terhadap stigma politik di mata anak muda. Ia tahu betul, kata politik seringkali dianggap kotor, penuh intrik, bahkan dicemooh.
“Banyak yang bilang, ‘apa sih politik? Bullshit’. Tapi setelah saya terjun langsung, justru saya melihat politik bisa jadi saluran terbaik. Ini ibarat dua mata pisau, tergantung siapa yang memegangnya dan untuk apa ia digunakan,” tegasnya.
Itu sebabnya, Akbar tidak ingin sekadar menjadi figuran politik. Baginya, duduk di parlemen harus menjadi langkah konkret untuk memecah kebuntuan, bukan menjadi bagian dari stagnasi.
Ia paham, Kukar sedang berada di persimpangan sejarah. Dengan bergulirnya pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kaltim, Kukar harus menyiapkan diri. Bukan sebagai pelengkap pembangunan, melainkan sebagai aktor utama yang siap bersaing, berdaya, dan mandiri.
“Kita tahu selama ini PAD Kukar sangat tergantung pada sektor Minerba. Tapi tambang itu tidak selamanya ada. Masa senja tambang itu pasti datang. Maka dari itu, kita harus mempersiapkan pondasi ekonomi baru yang berkelanjutan,” jelasnya.
Salah satu fokus Akbar yang akan ia perjuangkan di DPRD adalah sektor budaya dan ekonomi kreatif. Baginya, budaya bukan sekadar wacana pelestarian. Ia adalah napas. Lebih dari itu, Akbar melihat budaya sebagai wajah yang bisa dipoles menjadi daya saing global.
“Budaya itu bukan sekadar konservasi. Ia bisa menjadi wajah terbaik Kukar di mata dunia. Ini yang akan kami garap ke depannya,” tegasnya.
Kini, Akbar Haka memulai babak baru dalam hidupnya. Ia percaya, dengan spirit seniman dan idealisme politikus muda, dirinya mampu mengharmonikan suara rakyat dalam sistem yang kadang terasa keras dan bising.
(Oby)