Suarastra.com – Di banyak sudut rumah di Kukar, lembaran-lembaran tua mungkin tergeletak tanpa suara, menyimpan cerita yang perlahan memudar. Sebagian disimpan dalam peti warisan, sebagian lain dilipat rapi dalam kain batik tua, menjadi milik yang tak lagi dibaca, bahkan tak lagi diingat.
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (Diarpus) ingin menyentuh kembali memori itu, dengan langkah yang paling lembut, mengajak bicara.
Sosialisasi pelestarian naskah kuno mulai digelar, dengan mengusung tema “Teks yang Tak Luntur: Merawat Naskah, Merawat Nusantara”.
Bukan untuk mengklaim, bukan untuk mengambil. Tapi untuk merawat apa yang lama terabaikan.
“Ini bagian awal, untuk sosialisasi pada masyarakat bahwa naskah kuno itu bukan berarti pemerintah mau ambil,” ucap Plt Kepala Diarpus Kukar, Rinda Desianti, Rabu (23/7/2025), usai membuka ruang dialog dengan masyarakat.
Kekhawatiran itu nyata. Banyak pemilik naskah kuno memilih diam, menyimpan teks-teks tua dalam ketakutan akan kehilangan. Padahal, di balik keheningan itu, naskah-naskah tersebut berisi warisan intelektual, identitas lokal, dan petunjuk masa silam yang tak ternilai harganya.
Rinda memahami sepenuhnya, bahwa menyentuh memori bukan perkara teknis, tapi perkara kepercayaan.
“Bukan untuk diambil alih, tapi lebih kepada bagaimana kita menyelamatkan naskah kuno agar tetap terjaga dan bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran di masa depan,” ujarnya pelan.
Dalam sosialisasi ini, Diarpus tidak datang membawa tangan kosong. Mereka menawarkan pendampingan, mulai dari pencatatan, digitalisasi, hingga kemungkinan perlindungan hukum melalui program Khastara.
Semua itu, dilakukan dengan izin penuh dari pemilik naskah. Karena pelestarian sejati hanya bisa terjadi bila kepercayaan tumbuh.
“Kami ingin bantu menyelamatkan, setidaknya lewat digitalisasi atau pencatatan,” lanjutnya.
Rinda menyadari, keutuhan naskah bukan hanya soal menyelamatkan fisiknya, tapi juga menjaga ruh dan kisah yang melekat padanya.
Melalui pendekatan yang perlahan dan manusiawi ini, Diarpus berharap bisa membuka pintu-pintu rumah yang selama ini tertutup rapat.
Bukan untuk mengambil, tetapi untuk duduk bersama, membaca kembali lembar-lembar yang nyaris dilupakan, dan menghidupkannya dengan cara yang layak.
“Kalau masyarakat bersedia, kita bisa bantu daftarkan naskah-naskah tersebut. Selanjutnya bisa kita proses untuk alih media atau bahkan dipatenkan melalui program Khastara,” tutup Rinda, dengan harapan agar suara masa lalu tak lagi dibungkam debu.
(Mii)